MUHAMAMDIYAH GOMBONG

Wirisoedarmo nama kecilnya Soekiman dan akrab disapa dengan Mbah Wir merupakan peletak pondasi pertama gerakan Muhammadiyah di Gombong Kabupaten Kebumen. Lahir di Desa Tunjungseto (sekrang Kecamatan Sempor). Menurut pak Ruslan, mbah Wiriosoedarmo merupakan keturunan Raden. Beliau adalah keturunan bupati Tunjungseto. Pada zaman Belanda, daerah Tunjungseto pernah menjadi sebuah kabupaten.

Mbah Wir mengenal Muhammadiyah di Batavia mendengar langsung ceramah KHA. Dahlan. Beliau bekerja sebagai Juru Tulis Kelas I di Jawatan Pegadaian Negara, beliau pulang kembali ke Gombong menetap di dukuh Karangmaja Desa Semanding. Menurut pak Ahmad Afandi, beliau kembali dari Batavia ke Karangmaja pada tahun 1927 M.

Mbah Wir merupakan tuan tanah, beliau memiliki beberapa tanah yang cukup luas baik sawah maupun ladang terutama di daerah Gantung Sirah, di atas Tunjungseto dan di daerah lain di sekitar Gombong. Tanah yang sekarang berdiri  Koramil Gombong dan sekitarnya seluas 1 bahu dahulu adalah milik mbah Wir.

Menurut pak Amin Rais dalam sebuah ceramah beliau menceritakan bahwa sebelumnya Mbah Wir adalah penganut kejawen, namun setelah mendengarkan ceramah KHA. Dahlan di Batavia beliau akhirnya menjadi Muhammadiyah tulen. Setelah di Semanding beliau menggarap tanah-tanahnya dan aktif berdakwah menyelenggarakan pengajian-pengajian di berbagai tempat. Semua pengajian beliau isinya adalah paham agama menurut Muhammadiyah. Banyak orang yang mendatangi pengajiannya untuk mendengar ceramah sekaligus bertanya soal agama.

Mbah Wir adalah Mbah dari Amin Rais, tokoh besar Reformasi yang juga mantan ketua umum PP Muhammadiyah. Sebelum datang ke Gombong, beliau merupakan pejuang dan perintis pergerakan Muhammadiyah di wilayah Batavia (sekarang Jakarta) bersama dengan dua temannya yaitu Kartosoedarmo dan Sutalaksana. Jadi sebelum mengembangkan Muhammadiyah di Gombong, Mbah Wir terlibat pula menjadi penggerak Muhammadiyah di Batavia.

Menurut pak Dahlan Rais, Mbah Wir memiliki 4 istri antara lain Mbah Rusiyem, Mbah Sangidah, Mbah Mariyah dan Mbah Martinem. Dari istri pertama mbah Wir tidak mendapatkan anak, dari istri kedua beliau memiliki satu anak perempuan yaitu Ibu Sudalmiyah. Setelah mbah Wir menikah lagi dengan istri ketiga, mbah Sangidah minta ijin kembali ke daerah aslinya di Solo bersama Sudalmiyah putrinya. Beliau berpisah tidak satu rumah lagi namun tidak cerai, statusnya masih tetap istri dari mbah Wir. Ketika pulang dari Batavia, mbah Wir didampingi oleh dua istri dan satu putrinya yang bernama Sudalmiyah. Saat itu putri beliau telah tamat sekolah Hogere Inlandsche Kweek­school (HIK) Muhammadiyah.

Di Solo, Mbah Sangidah hidup bersama putrinya semata wayang hingga akhir hayat. Ibu Sudalmiyah tumbuh menjadi perempuan tangguh dan kemudian menjadi aktivis Aisyiyah dan pernah menjabat sebagai ketua PDA di Surakarta selama dua puluh tahun. Sudalmiyah juga dikenal sebagai seorang guru yang ulet. Ia mengajar di Sekolah Guru Kepandaian Putri [SGKP] Negeri dan Sekolah Bidan Aisyiyah Surakarta. Karena prestasinya di dunia pendidikan, pada tahun 1985, Ibu Sudalmiyah mendapat gelar Ibu Teladan se-Jawa Tengah. Ia juga aktif di partai politik Masyumi ketika masa jayanya pada tahun 1950-an.

Ibu Sudalmiyah menikah dengan Bapak Suhud Rais seorang pemuda alim, cerdas, dan rendah hati lulusan Mualimin Muhammadiyah, putra asli Bukateja Purbalingga. Dari pernikahan Pak Suhud Rais dan Ibu Sudalmiyah lahir 6 orang anak, yaitu Fatimah, Mohammad Amin Rais, Abdul Rozaq Rais, Siti Asiyah, Ahmad Dahlan Rais, dan Siti Aisyah. Ibu Sudalmiyah inilah yang menjadi salah satu pendiri Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada tahun 1960.

Pernikahan mbah Wir dengan Istri ketiga yaitu Mariyah memiliki dua putra, Imam Saparin dan Fatchurrohman sedangkan dari istri yang keempat, Mbah Martinem juga memiliki dua putra yaitu Siti Chotijah dan Girisno. Keseluruh putranya sudah tidak ada satupun yang tinggal di Gombong.

Gerakan dakwah mbah Wir diperkuat dengan orang-orang baru antara lain pak D. Soetario pendatang dari Tambak, Darmowisastro, Abu Daldiri dan pak Wongsorejo dan beberapa orang lainnya. Nama Wongsorejo saat ini diabadikan sebagai salah satu SMK swasta di Gombong yaitu SMK Wongsorejo. Wongsorejo merupakan pegawai Negeri sekaligus menjadi penggerak Muhammadiyah bagian pengajaran di Batavia yang kembali ke Gombong. Setelah beliau meninggal, anak-anaknya  menginginkan tanah tinggalan pak Wongso digunakan untuk pendidikan.

Pada masa awal keberadaannya di Gombong, Mbah Wir langsung bisa diterima oleh hampir seluruh masyarakat Gombong pada waktu itu. Mbah Wir dikenal sebagai sosok yang mudah bergaul. Itu terbukti dalam jangka waktu yang relatif singkat, Mbah Wir cepat dikenal di lingkungan tempat dia tinggal, maupun di Kecamatan Gombong secara umum. Beliau juga sering dijadikan tempat untuk bertanya dalam berbagai bidang khususnya seputar masalah Agama Islam.

Selain menyelenggarakan pengajian-pengajian, Mbah Wir menginisiasi penyelenggaraan shalat Idul Fitri maupun Shalat Idul Adha di Lapangan sebagai bentuk syiar Islam yang berpedoman kepada tuntunn Sunnah Rasulullah. Ketika akan berangkat menuju lapangan, rombongan jamaah berbaris rapih kemudian berjalan sambil menggemakan takbir. Menurut bu Mukarni rombongan yang dari Karangmaja dipimpin mbah Wir, sedangkan rombongan dari Gombong berbaris dulu di kantor Muhammadiyah kemudian dipimpin oleh pak Tario kadang bapak-bapak yang lain. Jika Idul Adha, semua hewan kurban turut dibawa pula ke Lapangan Selogiri.

Keuletan mbah Wir dalam mendakwahkan Muhammadiyah semakin hari semakin luas. Semakin banyak pula orang-orang yang menjadi jamaah Muhammadiyah. Sehingga menurut pak Suwito Abdullah ketika sholat Idul Fitri maupun Idul Adha bisa mencapai 40 orang lebih yang mengikuti sholat di lapangan.

Bersama-sama dengan para pengurus Muhammadiyah yang lain yaitu Bapak & Ibu H. D. Soetario, Bapak & Ibu Basyar, Bapak & Ibu Ahmad Martodarsono, Bapak H. Siyono dan lainnya mendirikan Hollandsch Inlandsch School (HIS) met de Qur’an.  Diantara para pengajarnya adalah Pak Daldiri dan pak Muandar. Namun baru berjalan beberapa tahun, sekitar tahun 1934 M sekolah tersebut dibubarkan oleh Belanda karena dianggap liar dan merupakan ancaman bagi Pemerintah Belanda. Setelah HIS bubar, pak Daldiri pergi ke Solo menjadi mandor tebu dan akhirnya menjadi konglomerat. Pak Daldiri adalah ayah dari Ir. H. M. Yahya Fuad, SE ketua umum PCM Gombong periode 2005-2010 dan 2010-2015. Meskipun secara resmi HIS dibubarkan namun kegiatannya tetap berjalan secara sembunyi-sembunyi.

Setelah HIS bubar, mbah Wir bersama jamaah Muhammadiyah mendirikan Rumah Yatim yang lokasinya sempat berpindah-pindah namun terakhir menempati rumah Bapak Saimin sebelah timur garasi bus PO Mulyo. Di rumah tersebut selain untuk Rumah Yatim sekaligus untuk tempat mengaji malam hari, juga untuk Gedung Diniyah sore hari dan untuk kantor Muhammadiyah. Diantara anak diasuh rumah Yatim adalah pak Muhajir Semanda dan Mochammad Djarot yang kelak menjadi penggerak Muhammadiyah di Gombong dan menjadi generasi kedua setelah mbah Wir dan pak D. Soetario.

Diantara strategi yang ditempuh mbah Wir dalam berdakwah adalah memanfaatkan kemampuannya untuk memberikan pengobatan kepada warga masyarakat yang sedang sakit. Karena kemanjuran dan kehebatan beliau, maka masyarakat di Gombong pada waktu itu memberikan nama dengan sebutan pengobatan versi Mbah Wir. Selain merasakan kemanjuran dari pengobatan ini, warga  juga tidak pernah dikenakan biaya apapun. Melalui strategi tersebut beliau sedikit demi sedikit memberikan pemahaman agama kepada para pasiennya.

Mbah Wir juga terkenal sebagai sesepuh atau orang yang dianggap sakti. Sekitar tahun 70an Waduk Sempor dibangun kembali setelah jebol pada tahun 1967. Suatu hari dozzer atau beko yang sedang menggarap proyek waduk Sempor mengalami ambles, tidak bisa diangkat. Sudah ditarik menggunakan dua kren tetap belum bisa terangkat. Akhirnya pihak PT. Obayasi, penggarap proyek tersebut minta kepada para pekerja untuk mencarikan orang yang dianggap sakti. Karena mereka menganggap di Jawa terkenal banyak orang sakti. Akhirnya supir beko mendatangi mbah Wir di Semanding. Dia diberi air putih dan tulisan syahadat Laailaahaillallah dan tulisan Muhammadarrasulullah. Air putih disuruh menyiramkan ke beko, tulisan syahadat Laailaahaillallah disuruh menempel di sebelah kanan beko, tulisan Muhammadarrasulullah ditempel di sebelah kiri”. Sesampainya di lokasi,  supir beko melakukan apa yang diperintahkan oleh mbah Wir dan ajaibnya beko benar-benar bisa terangkat.

Kepercayaan bahwa Mbah Wir adalah orang sakti juga terjadi ketika pada masa itu masyarakat Gombong dan sekitarnya masih banyak yang mempercayai hal-hal mistis yang tidak logis. Ketika itu banyak sawah yang nganggur tidak digarap karena banyak ularnya. Masyarakat percaya bahwa ular tersebut bukan ular sungguhan tapi ular siluman. Mbah Wir mengawali nggarap sawah-sawah tersebut dan tidak terjadi apa-apa sehingga banyak orang yang akhirnya ikut menggarap sawah.

Dalam urusan ibadah Mbah Wir sangat kuat dalam menjaga amaliyah harian. Beliau selalu sholat berjamaah di masjid, menjaga sholat rowatib, sholat Duha dan Qiyamul Lail,, puasa sunnah dan tadarus al Quran. Sehingga dari situlah mungkin kekuatan langit mudah turun dan berpihak kepada beliau. Sering doa beliau mudah terkabul dalam waktu yang singkat sebagaimana beberapa kisah di atas. Selain itu beliau sangat menjaga hati dalam bertindak, dan sangat dermawan. Selain itu beliau juga terkenal tegas, keras dan disiplin. Kepada anak-anaknya, beliau tidak segan-segan memarahi bahkan memukulnya untuk menyuruh sholat atau ngaji.

Sikap kedermawanannya terlihat pada saat sedang mengisi pengajian di suatu tempat. Pada saat mengaji beliau tidak segan membawa gula, kopi, makanan ringan, ataupun sejenisnya untuk kepentingan jamaah yang di datangi, atau hanya sekedar sebagai konsumsi agar pengajian yang dilaksanakan jamaahnya lebih bersemangat. Itulah salah satu strategi yang dilakukannya dalam menyampaikan paham Muhammadiyah pada masa-masa awal keberadaan beliau di Gombong.

Masyarakat Gombong dan sekitarnya dengan cepat dan secara bertahap mampu menerima isi materi pengajian yang disampaikan oleh Mbah Wir. Meskipun tema-tema pengajian yang disampaikan pada waktu itu merupakan tema-tema yang sangat bertentangan dengan budaya yang sudah mengakar di kalangan warga masyarakat Gombong.

Materi pengajian yang disampaikan beliau merupakan hal-hal yang baru diketahui oleh masyarakat pada waktu itu. Bahkan cenderung melawan arus atau tradisi yang sudah terbangun sejak dulu. Sehingga ada sebagian warga yang menolak karena tidak sepaham dengan apa yang mereka yakini. Namun secara kuantitas dari waktu ke waktu justru masyarakat semakin menerima pengajian tersebut.

Akhirnya warga Gombong semakin memahami dan menyadari bahwa banyak sekali kegiatan atau ritual yang mereka lakukan ternyata bertentangan atau tidak sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah. Hal-hal yang sering disinggung dalam setiap pengajian yang diisi oleh Mbah Wir berkaitan dengan permasalahan yang menjadi salah satu filosofi kelahiran Muhammadiyah, yaitu mengenai fenomena takhayul, bid’ah, dan khurafat atau lebih populer dengan sebutan “TBC”.

Mbah Wir merupakan mubaligh Muhammadiyah yang cukup berani dan tegas dalam memberantas permasalahan TBC ini. Akibat dari ketegasan inilah, mulai muncul pertentangan dari warga yang tidak sepaham dengannya. Warga yang tidak setuju dengan berbagai cara berusaha menghalangi usaha dakwah yang ditablighkan oleh Mbah Wir. Namun dengan sikap keteladanan yang beliau munculkan, didukung dengan keistiqomahan dan kesabaran yang luar biasa, akhirnya banyak masyarakat yang awalnya menolak, semakin lama malah mereka semakin menerima dakwah yang disampaikan Mbah Wir. Sampai akhirnya beliau dipandang sebagai pendakwah yang berbudi baik, lemah lembut, dan dapat dijadikan panutan.

Mbah Wir terkenal keras dalam membentengi masyarakat dari akidah yang menyimpang. Beliau sangat tegas membasmi kesyirikan. Jika ada yang masih mempercayai jimat seperti keris yang memiliki kekuatan gaib, beliau tidak segan-segan menantang pemiliknya dengan mengatakan “sini bawa jimatmu ke hadapanku, akan aku kencingi dan aku ludahi”. Namun tantangannya itu jarang ditanggapi oleh orang-orang yang masih percaya dengan dunia mistis. Dengan ketegasannya itu tidak jarang orang yang akhirnya mengikuti pemahaman akidah yang benar.

Setelah mengalami berbagai macam peristiwa dan dakwahnya semakin diterima, Mbah Wir akhirnya membuat strategi baru dengan membuat atau mendirikan grup pengajian-pengajian untuk mempermudah penyebaran dakwah Muhammadiyah. Dari grup-grup pengajian inilah yang dijadikan sebagai cikal bakal berdirinya Muhammadiyah di Gombong.

Warga masyarakat yang menerima pengajian beliau, kemudian membentuk jamaah atau grup pengajian Muhammadiyah. Grup pengajian pertama yang terbentuk adalah “Grup Semanding”. Diberi nama Grup Semanding karena memang menjadi daerah pertama yang menjadi misi awal dakwah Muhammadiyah. Selain itu Desa Semanding merupakan tempat di mana beliau bekerja dan bermukim.

Melalui pengajian grup ini, untuk pertama kalinya dakwah Muhammadiyah berhasil dikembangkan sampai ke daerah-daerah di sekitar Gombong. Daerah tersebut misalnya : Kecamatan Sempor, Kuwarasan, Tambak, Karanganyar, Rowokele, dan Kecamatan Ayah. Model penyebaran yang dilakukan Mbah Wir cukup unik, yaitu beliau memberikan pemahaman tentang paham Islam sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, kemudian dilanjutkan dengan untuk apa Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan. Tema-tema seperti ini selalu disampaikan kepada jamaah yang tergabung dalam Grup Semanding.

Setelah dinilai merasa cukup menguasai Muhammadiyah, maka kader-kader Muhammadiyah yang berasal dari Grup Semanding ini sembari tetap mengaji pada Mbah Wir, juga bertugas untuk menyebarkan dakwah Muhammadiyah ke daerah-daerah lain di sekitar Gombong. Hampir mayoritas kecamatan-kecamatan yang terdapat di daerah Kebumen merupakan hasil pembinaan dakwah Muhammadiyah yang dilakukan Mbah Wir beserta jamaahnya. Berikut ini daftar kader yang tergabung dalam Grup Semanding.

Daftar Anggota atau Kader Muhammadiyah Gombong yang Tergabung Dalam Grup Semanding.

No Nama Generasi Pertama Pekerjaan Meninggal (Thn)
1 Bpk Soekiman Wirjosoedarmo Pensiunan 1976
2 Bpk Manroji Pedagang 1964
3 Bpk Somataruna Pedagang 1964
4 Bpk Muchroji Pedagang 1963
5 Bpk Sanmukri Pedagang 1982
6 Bpk Kasan Darmo Pedagang 1970
7 Bpk Dulkadim Pedagang 1985
8 Bpk Murtomo Polisi Negara 1960
9 Bpk Muhammad Anwar Tukang Sepatu 1975
10 Bpk M. Basyar Pedagang Obat 1957
11 Bpk Matkasan Pedagang 1970
12 Bpk Karyoworejo Pedagang 1970
13 Bpk Darmowisastro Guru Sekolah Rakyat 1989
14 Bpk Soemosiswojo Guru Schakel School Tidak diketahui
15 Bpk Prawiromihardjo Pedagang Tidak diketahui
16 Bpk D. Soetario Guru Schakel School 1986

Melalui generasi awal ini, dakwah Muhammadiyah mulai menyebar secara merata di wilayah Gombong dan sekitarnya. Grup Semanding ini dari waktu ke waktu telah melahirkan kader-kader Muhammadiyah yang sangat militan dalam mendakwahkan Islam menurut pemahaman Muhammadiyah. Keberlangsungan atau keberhasilan Muhammadiyah di Gombong bukan saja hanya dilakukan oleh generasi awal, tapi generasi berikutnya juga mempunyai andil yang sangat besar dalam melanjutkan perjuangan para pendahulunya.

Setelah Grup Semanding melakukan pengkaderan secara berkesinambungan, tercacat memiliki kader-kader yang tergabung dalam Angkatan Muda Muhammadiyah pada waktu itu. Adapun kader-kader yang dimaksud adalah : Bapak Moh. Djarot, Marsoedi, Ruslan, Sudarisman, dan Bapak Achmad Somadi.

Pengajian rutin dan pengajian keliling merupakan agenda utama yang dilakukan oleh Grup Semanding beserta angkatan mudanya secara berkala. Bahan atau materi yang diberikan dalam pengajian, selain hal-hal yang bersangkutan dengan peribadatan mahdhoh, diberikan juga ilmu Tauhid dan pembersihannya dari penyakit takhayul, bid’ah dan khurafat (TBC).

Mbah Wir meninggal dunia pada tahun 1976, meninggal di Dukuh Bojong Desa Sempor dan dimakam di Tunjungseto. Beliau sempat mengalami beberapa generasi Muhammadiyah. Jika sekarang beliau dapat melihat perkembangan Muhammadiyah di Gombong tentu beliau akan tersenyum manis, amal baiknya yang beliau tabur benihnya kini telah menjadi pohon yang rindang, banyak buahnya dan memberi banyak manfaat bagi masyarakat.